
Ciputat (Kemenag) — Kementerian Agama (Kemenag) menggagas Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai langkah untuk mewujudkan lima dimensi religiusitas dalam pendidikan keagamaan di Indonesia.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, Nyayu Khodijah, menjelaskan bahwa lima dimensi tersebut meliputi aspek keimanan, pengetahuan, penghayatan, peribadatan, dan pengamalan.
“Selama ini yang kita lihat guru agama kita dari kelima hal ini yang masih sedikit sekali tersentuh adalah aspek penghayatan,” ujar Nyayu dalam kegiatan Dialog dari Hati: Kurikulum Berbasis Cinta, di Ciputat, Minggu malam (7/9/2025).
Ia menekankan bahwa dimensi penghayatan sangat krusial dan tidak boleh diabaikan. Ketika aspek ini tidak digarap dengan optimal, maka pembelajaran agama belum mencapai hasil maksimal. “Nah, KBC ini fokusnya ke semua dimensi,” ungkapnya.
Jika ditinjau dari Taksonomi Bloom, Nyayu menilai bahwa kurikulum nasional yang berjalan selama ini masih berfokus pada ranah kognitif, sementara ranah afektif belum terakomodasi dengan baik.
“Kegagalan dunia pendidikan itu karena memang tidak menyentuh aspek afektif. Padahal itu aspek yang sangat penting.”
Presiden Direktur Mizan Group, Haidar Bagir, menilai inisiatif Kemenag memperkenalkan KBC berpotensi menghadirkan perubahan besar. Ia menegaskan bahwa cinta bukan persoalan kognitif, melainkan afektif. Menurutnya, cinta bukanlah benda material, bahkan tidak sebatas pengetahuan rasional.
“Cinta adalah pengalaman, yang hanya bisa dialami dengan rasa,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, untuk memahami cinta, seseorang harus mengalaminya secara langsung. Oleh karena itu, implementasi nilai cinta dalam pendidikan harus diwujudkan melalui keteladanan semua pihak.
Dalam aspek teknis penyusunan kurikulum, Haidar menilai perlu adanya penggunaan model project-based learning yang mengintegrasikan berbagai pengalaman belajar.
“Itulah cara yang paling tepat dalam mengajarkan persoalan cinta. Jadi, cinta bukanlah mata pelajaran khusus, melainkan harus merembes ke seluruh aspek pendidikan,” jelasnya.
Sumber : Artikel UIN Datokaram Palu